Ketika kota-kota di Indonesia berlomba-lomba membuat slogan yang muluk-muluk dengan akronim yang aneh-aneh, Manado ‘berani tampil beda’ dan secara down to earth menyebut kotanya sebagai ‘Kota Tinutuan’. Menurut saya, ini merupakan salah satu batu pijakan (stepping stone) penting untuk meraih visi Sulawesi Utara Tujuan Wisata Dunia pada tahun 2012.
Sayangnya, ternyata penamaan ‘Kota Tinutuan’ itu justru mengundang kontroversi. Sekarang, atas desakan masyarakat, pemerintah daerah justru sedang mempertimbangkan untuk mengubahnya. Kata para oponen, ‘tinutuan’ dalam bahasa daerah mengandung makna ‘semrawut’. Ya, terserah, lah!
Belum lama ini saya melintasi Kota Lamongan di Jawa Timur. Di gerbang kota tertulis besar-besar ‘Lamongan Kota Tahu Campur’. Nah, ini dia! Ternyata, Lamongan punya tahu campur, Surabaya punya nama. Saya pun baru tahu bahwa tahu campur kesukaan saya di Surabaya ternyata asalnya dari Lamongan. Tak ayal lagi, supir taksi pun saya minta untuk mengantar saya mencicipi tahu campur paling enak di Lamongan. Bukankah penamaan seperti itu memicu instinct kita untuk melakukan tindakan positif?
Yogyakarta dikenal sebagai Kota Gudeg, sekalipun tidak berani secara resmi memproklamasikan dirinya dengan coinage tersebut. Banyak lagi kota-kota Indonesia yang mempunyai positioning lebih bagus bila menggunakan unsur kuliner khasnya secara tepat. Kediri Kota Tahu. Palembang Kota Pempek. Madiun Kota Pecel. Solo Kota Timlo. Purwokerto Kota Mendoan. Padang Kota Rendang. Pekalongan Kota Megono. Malang Kota Angsle. Dan begitu banyak lagi lainnya.
Tinutuan alias Bubur Manado – awas, ya, jangan suka memelesetkannya menjadi ‘Bibir Manado’ karena itu merupakan sexual harassment yang tidak disukai saudara-saudara kita di sana – adalah salah satu ujung tombak untuk menghapus fallacies seolah-olah masakan Minahasa semuanya tidak halal. Di Jakarta, kehadiran begitu banyak rumah makan Manado halal juga membantu mempromosikan kenyataan bahwa sangat banyak sajian Minahasa yang tidak mengandung babi.
Apa sih istimewanya tinutuan yang dapat membuat katorang tahaga-haga panasaran? Padahal, Bubur Manado adalah makanan sederhana alias poor men’s diet yang sejarah kelahirannya mirip cioppino di Italia atau bakutteh di Singapura. Konon, dulu para petani hanya berbekal segenggam beras ketika pergi di sawah. Lalu memasak beras menjadi bubur dan dicampur dengan apa saja yang ada di sawah. Singkong, sereh (baramakusu), daun kemangi (balakama), jahe (gurahan), daun gedi, kangkung, ubi jalar atau waluh (sambiki), dan jagung. Ah, campur-campur yang semrawut inilah yang membuat lidah kita tergetar ketika menyantapnya.
Jalan Wakeke, tidak jauh dari Hotel Ritzy, Manado, boleh dibilang juga sebagai Jalan Tinutuan. Soalnya, di ruas jalan yang pendek itu dapat dijumpai begitu banyak rumah makan yang menjajakan tinutuan sebagai hidangan utama. Di ujung Jalan Wakeke, di sebelah kiri jalan, ada sebuah rumah makan bergaya kafe teras yang sangat ramai. Kualitas tinutuan-nya pun bole dipoedjiken.
Tinutuan biasanya disajikan dengan nike goreng, cakalang goreng, dan milu (jagung) rebus. Nike adalah ikan kecil-kecil seperti teri, hanya dapat dijumpai di Danau Tondano, di selatan Manado. Nike digoreng crispy dengan tepung, mirip bakwan atau perkedel. Hmm, pasti Anda akan kembali ke Sulawesi Utara untuk mencari Si Manis Nike ini! Bisa tamimpi-mimpi, jo!
Kondimen yang paling cocok untuk tinutuan adalah dabu-dabu (sambal). Di jalan Wakeke, biasanya disediakan dua jenis sambal, yaitu: sambal roa (dibuat dengan cabe merah dan ikan roa kering), dan dabu-dabu bakasang. Bakasang adalah ikan yang sudah difermentasikan mirip terasi. Jangan salahkan saya kalau Anda meneteskan air liur saat ini. Saya pun sudah lapar lagi sembari menulis. So simple, yet so haunting. Yes, I shall return!
Generasi remaja Manado kini menyukai tinutuan dicampur dengan mi. Namanya midal – singkatan dari ‘mi dan lain-lain’, hahahahahahahahahaha
2 comments:
kelihatannya buburnya enak, hehehe
Il semble que vous soyez un expert dans ce domaine, vos remarques sont tres interessantes, merci.
- Daniel
Post a Comment